Oleh: Agus Zaini
Co-founder Cakra Manggilingan Institute
Indonesia akan menggelar pemilu rutin serentak lima tahunan pada, Rabu 14 Februari 2024 mendatang. Presiden Jokowi sudah pasti tidak akan mencalonkan diri kembali, lantaran konstitusi membatasi masa jabatan Presiden hanya dua periode saja.
Sejauh ini, ada tiga nama capres yang digadang-gadang maju di pilpres, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Sedangkan, untuk siapa-siapa cawapres belum ada kepastian, meskipun sudah muncul beberapa nama yang disebut-sebut layak sebagai cawapres potensial. Apa pun kondisi yang dihadapi masing-masing kubu, tentu akan bekerja keras menyusun strategi dan taktik yang tepat dan jitu demi meraih kemenangan 50% plus 1 dari total suara sah.
Mencermati perkembangan politik yang terus bergulir menjelang pemilu 2024, ada beberapa skenario politik yang makin mengerucut, meskipun masih dinamis. Artikel ini setidaknya hendak melukiskan pantauan situasi yang kemungkinan besar bisa menjadi kenyataan politik.
Skenario 1: Ganjar vs Prabowo Bertarung, Anies yang Beruntung
Prabowo sudah pasti menjadi capres. Secara hitungan di atas kertas, Prabowo berada di atas angin, mengingat Partai Gerindra, PKB, Partai Golkar, dan PAN sudah mendeklarasikan dukungannya. Fakta ini tentu membuat PDIP gerah, karena seperti dijauhi oleh partai koalisi pemerintah.
PDI-P merasa ditinggalkan, namun partai berlambang kepala banteng dalam lingkaran ini, akan tetap fight habis-habisan mengusung Ganjar menjadi capres demi mencapai target hattrick di Pemilu 2024. Dan ini merupakan kalkulasi yang rasional.
Apabila dinamika politik saat ini konstan, tidak ada perubahan mendasar di masing-masing koalisi yang sudah terbentuk, akan muncul tiga nama kandidat presiden, yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto.
Jika kubu Ganjar dan kubu Prabowo tidak terkoneksi dengan baik, maka akan terjadi benturan keras. Kubu Ganjar dan kubu Prabowo akan mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk saling menyerang dan saling menjatuhkan. Dengan target bisa meraih suara sah diatas 50%, sehingga dapat meraih kemenangan dalam satu putaran. Atau jika itu tidak tercapai, setidaknya dapat ‘tiket’ untuk masuk putaran kedua Pilpres 2024.
Di saat kubu Ganjar dan Prabowo bertarung habis-habisan, saling serang dan menjatuhkan, Anies justru dapat tampil tenang, penuh percaya diri, dan bisa fokus berkampanye tanpa gangguan yang berarti.
Kemasan politik sebagai anti-tesa Jokowi mendapat momentum yang tepat, karena imbas dari pertarungan terbuka antara Ganjar vs Prabowo. Siapa pun pemenang pertarungan antara Ganjar lawan Prabowo, sudah ditunggu oleh Anies di putaran kedua.
Bagi kubu yang kalah akan menyimpan rasa sakit yang mendalam. Akibatnya sulit bagi kubu yang kalah untuk membangun kerja sama politik di putaran berikutnya. Ada dua pilihan bagi kubu yang mengalami kekalahan, yakni mematikan mesin politiknya, atau melampiaskan dendam politiknya dengan cara mendukung Anies di putaran kedua.
Dengan demikian, Kemenangan Anies pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu, bisa saja terulang di Pilpres 2024 nanti. Indonesia memiliki presiden baru dan figur itu adalah anti-tesa Jokowi.
Skenario 2: Asal Bukan Anies
Anies sebetulnya bukan capres yang perlu diperhitungkan, mengingat capaian elektabilitas Anies masih jauh di bawah Ganjar dan Prabowo. Tetapi Anies bisa menjadi “kuda hitam”. Untuk itu dibutuhkan upaya sistematis agar “langkah” Anies dapat terganjal.
Ada dua pola yang bisa ditempuh untuk menjegal Anies. Pertama, merusak koalisi partai pengusung Anies. Jika salah satu partai pengusung Anies menarik dukungannya, bisa dipastikan Koalisi Perubahan dan Persatuan akan “rungkad” alias berantakan. Dan Anies gagal mendaftarkan diri menjadi Capres.
Pola kedua, membiarkan Anies memasuki gelanggang kontestasi Pilpres 2024. Dengan demikian akan terjadi pertarungan segitiga. Namun, antara kubu Ganjar dan Prabowo sudah terbangun komunikasi politik yang baik. Kedua kubu itu bersepakat untuk menjadikan Anies sebagai “musuh bersama”. Serangan politik ditujukan kepada Anies, dengan target Anies gagal di putaran pertama.
Selanjutnya, pada putaran kedua Ganjar berhadapan dengan Prabowo. Dari kedua nama tersebut siapa pun yang terpilih masing-masing punya hubungan dan kerjasama politik yang baik, sehingga pemenangnya adalah All Jokowi’s Men.
Skenario 3: Prabowo Menggandeng Gibran
Jika judicial review dikabulkan Mahkamah Konstitusi, dengan mengubah syarat capres atau cawapres boleh berusia 35 tahun, maka Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi bisa menjadi kontestan Pilpres 2024. Siapa pun yang didampingi Gibran berpeluang besar akan menang. Karena suka tidak suka, pihak-pihak yang mengklaim “paling didukung Jokowi” terpatahkan di sini. Sejauh ini, baru Prabowo yang intens menggaet Gibran sebagai calon wakil presiden.
Jika itu yang terjadi, perseturuan terselubung antara Presiden Jokowi dan Megawati Soekarnoputri (PDI Perjuangan) kian meruncing dan naik ke permukaan. Megawati beserta kadernya akan melakukan serangan terbuka kepada Presiden Jokowi dan kabinetnya.
Pada posisi ini ada kemungkinan PDIP tidak akan sungkan mengambil figur yang telah di-branding sebagai anti-tesa Jokowi, pilihannya ada dua nama; Anies atau AHY. Seperti celotehan Said Abdullah, Ketua DPP PDIP yang membuka wacana memasangkan Ganjar dan Anies sebagai bakal capres dan cawapres (22/08/23).
Sudah bisa dipastikan PDIP akan memberi label kepada Jokowi sebagai pengkhianat partai, yang harus dilawan dan ditenggelamkan. Tidak ada kompromi bagi petugas partai yang telah menyakiti “nyonya besar”-nya. Begitu mungkin sikap para kader PDIP kepada Presiden Jokowi. Dengan demikian Pemilu akan berlangsung seperti drama antagonis, yang akan mengganggu konsentrasi pemeritahan Presiden Jokowi saat ini.
Skenario 4: Prabowo Tanpa Bimbingan Jokowi
Situasi politik yang berkembang, memaksa Jokowi untuk tetap berada di barisan PDI Perjuangan. Dengan demikian Prabowo memasuki arena pilpres tanpa dukungan Jokowi. Hal ini mungkin akan berimbas pada keutuhan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Beberapa partai pengusung Prabowo bisa saja menarik diri dari koalisinya.
Prabowo berada pada posisi “point of no return”_. Sudah mustahil bagi Prabowo untuk mundur dari pertarungan memperebutkan kursi RI-1. Bagi Prabowo ini merupakan pertarungan terakhir. Apalagi usianya sudah memasuki 72 tahun. _Now or never.
Situasi seperti ini tentu membuat Prabowo dan tim suksesnya akan tampil all-out, mengerahkan segala daya dan upaya secara total demi memenangkan pertarungan.
Apapun akan ditempuh untuk meraih kemenangan di Pilpres 2024. Maka, bukan hal mustahil tombol “short-cut” akan dipilih. Jalan pintas akan ditempuh, apapun resikonya.
Sangat mungkin Prabowo akan menggunakan strategi sebagaimana pilpres 2014 dan 2019, yang dilancarkan dengan penuh modifikasi, yakni memainkan isu politik identitas dan politisasi agama sebagai bagian dari produk politiknya. Termasuk memobilisasi kelompok Islam garis keras atau kelompok “oposisi” yang rajin menyerang Jokowi. Pemilu 2024 berpotensi akan berlangsung panas dan keras.
Kita berharap semoga “mimpi buruk” itu tak pernah terjadi. Jangan sampai Pemilu sebagai mekanisme politik elektoral yang konstitusional, justru berakhir tragis dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Akhirnya, siapapun pemenangnya akan mengalami kesulitan untuk me-recovery kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah terkoyak.
Epilog
Berbagai skenario politik jelang Pilpres 2024 sudah tergambarkan secara gamblang. Bisa jadi hanya dipandang sebagai khayalan, atau sebatas kekhawatiran yang berlebihan. Namun ada hal yang dapat dijadikan catatan penting, bahwa dinamika politik yang ditayangkan dalam bentuk atraksi-atraksi politik para elit partai saat ini, sejatinya mengungkap ambisi politik untuk dapat berkuasa. Bagi yang telah berkuasa ingin melanjutkan pengaruhnya. Sedangkan yang belum berkuasa ingin merebut kekuasaan, dengan segala cara.
Sesungguhnya hasrat untuk berkuasa merupakan bagian dari fenomena psikologis yang bisa memandu seseorang untuk meraih puncak aktualisasi diri. Namun, jika keinginan itu disertai dengan ambisi berlebihan, maka seperti kata filsuf dari Jerman, Karl Robert Eduard von Hartmann, bahwa “Ambisi adalah seperti air laut: semakin banyak orang meminumnya, semakin orang menjadi haus”.
No comment