Oleh : Bala Gibran Banyumas
Mendekati Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banyumas 2024, atmosfer politik daerah ini terasa hangat, diiringi isu bahwa Rakyat merasa sikap elit politik Banyumas telah terkuptasi kepentingna tertentu. Rakyat resah melihat hanya ada satu pasangan calon, Sadewo Tri Lastiono dan Dwi Asih Lintarti, yang bertarung melawan kotak kosong.
Bagi sebagian masyarakat, pilihan untuk mendukung kotak kosong bukan hanya bentuk protes, tetapi juga perlawanan simbolis kecewa terhadap apa yang mereka pandang sebagai kemunduran demokrasi di Banyumas.Konstituen juga kecwa terhadap masing-masing elit partai karena tidak mendorong proses demokrasi yang wajar dan cenderung membentuk oligarki kekuasaan di Banyumas.
Diperkirakan juga, lebih banyak jumlah rakyat saat ini yang merasa tidak mendapatkan donasi daripada yang memperoleh donasi dari elit dalam pemilu saat ini.Ini merupakan kesenjangan yang sangat tinggi antara elit dan rakyat sehingga pilihan kotak kosong menjadi relevan karena kekecewaan yang sangat tinggi.
Kondisi seperti ini juga terjadi di Brebes. Rakyat merasa hanya elit yang mendapatkan keuntungan daripada rakyat secara keseluruhan.*KONDISI POLITIK BANYUMAS: HILANGNYA PILIHAN, HILANGNYA HARAPAN*Pilkada seyogyanya menjadi momen bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah melalui pilihan mereka.
Namun, realitas yang ada kini justru mengusik perasaan keadilan mereka. Sejak masa pendaftaran calon, Ketua KPU Banyumas, Rofingatun Khasanah, mengonfirmasi bahwa hanya Sadewo-Lintarti yang menyerahkan berkas pendaftaran. Sementara itu, calon-calon lain tidak memenuhi syarat atau bahkan mengurungkan niat untuk mendaftar. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah elit politik di Banyumas benar-benar mewakili suara rakyat atau hanya mengutamakan kepentingan tertentu?Bagi sebagian besar masyarakat Banyumas, kondisi ini tidak hanya memupuskan esensi demokrasi, tetapi juga memperkuat kecurigaan akan adanya praktik oligarki di belakang layar.
Suara rakyat yang sebelumnya bergelora kini terancam terkubur di bawah tekanan sistem yang seolah tak memberi ruang bagi pilihan yang sehat dan demokratis.
*DAMPAK ELIT YANG TERKUPTASI: MENUMBUHKAN RASA TIDAK PERCAYA*
Keterlibatan elit politik dalam praktik-praktik yang dirasa mengkhianati kepercayaan publik hanya memperparah keresahan masyarakat. Dalam situasi ini, ketidakpuasan dan kekecewaan merebak di antara para pemilih yang merasa bahwa suara mereka seakan tak lagi berarti. Pilihan terhadap kotak kosong pun muncul sebagai bentuk protes terhadap sistem yang dianggap timpang, tak adil, dan tak representatif.
*MENGAPA MEMILIH KOTAK KOSONG? SUARA SIMBOLIS DARI HATI NURANI*
Keputusan untuk memilih kotak kosong bukanlah tanpa dasar. Banyak pemilih yang melihat ini sebagai peluang untuk menegaskan suara hati mereka. Tiga alasan utama muncul dalam benak para pemilih:
1. Protes terhadap Ketidakadilan: Bagi sebagian besar rakyat, memilih kotak kosong adalah cara efektif untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap kondisi politik yang ada. Mereka juga kecewa rakyat saat ini merasa tidak mendapatkan apa-apa dari elit.
2. Menjaga Martabat Suara Rakyat: Dukungan kepada kotak kosong menunjukkan keinginan mereka untuk memiliki alternatif yang lebih baik daripada calon tunggal yang disodorkan.
3. Mendorong Perubahan: Dalam jangka panjang, suara untuk kotak kosong diharapkan dapat menggugah partai politik agar lebih memperhatikan aspirasi rakyat dan menghadirkan calon-calon yang lebih berkualitas di masa depan.
*KESIMPULAN: KOTAK KOSONG SEBAGAI PILIHAN STRATEGIS DAN SIMBOLIS*
Pada akhirnya, dalam Pilkada Banyumas 2024, memilih kotak kosong bukan sekadar strategi, tetapi juga simbol perlawanan terhadap sistem yang dianggap gagal mengakomodasi keinginan rakyat. Ini adalah cara bagi masyarakat Banyumas untuk menyatakan bahwa mereka menginginkan demokrasi yang lebih berintegritas dan wakil-wakil yang benar-benar bertanggung jawab. Bagi masyarakat Banyumas, suara mereka adalah jaminan bagi masa depan daerah.
No comment