Retret Kepemimpinan untuk kepala daerah di Magelang, dengan fokus pada Orientasi Kepemimpinan, Tata Kelola Pemerintahan, Manajemen Keuangan APBD, Hukum dan Stabilitas Keamanan, Inovasi, serta Penguatan Kapasitas Pemimpin, sejatinya adalah ruang kritis bagi penyegaran visi dan pematangan kompetensi. Agenda ini dirancang untuk menjawab kompleksitas tantangan daerah, dari optimalisasi anggaran publik hingga penguatan demokrasi yang partisipatif. Namun, larangan Ketua Partai PDIP kepada kadernya untuk mengikuti retret ini justru menguak wajah arogansi kekuasaan dan paradoks kepemimpinan yang kontraproduktif.
Langkah ini adalah bukti nyata arogansi politik yang menempatkan kepentingan kendali partai di atas kebutuhan riil rakyat. Bagaimana mungkin partai yang mengusung jargon “pro-kerakyatan” justru membatasi kesempatan kadernya untuk memperdalam kapasitas mengelola APBD, merancang kebijakan inklusif, atau memahami dinamika hukum yang mengikat daerah? Retret bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan investasi sumber daya manusia untuk memastikan kebijakan publik berpijak pada prinsip akuntabilitas dan keadilan sosial. Dengan melarang partisipasi, sang ketua partai secara implisit mengabaikan esensi kepemimpinan transformasional: membangun pemimpin yang cakap, bukan sekadar patuh.
Larangan ini juga memperlihatkan paradoks kepemimpinan yang ironis. Di satu sisi, PDIP kerap menyerukan pentingnya “pemimpin merakyat” dan “good governance”, tetapi di sisi lain, mereka membatasi akses kadernya terhadap pengetahuan yang justru menjadi fondasi tata kelola tersebut. Misalnya, materi *Manajemen Perubahan dan Inovasi* adalah kunci untuk menjawab disrupsi ekonomi atau konflik sosial di daerah. Tanpa itu, kepala daerah hanya akan jadi *operator birokrasi*, bukan problem solver. Dengan menutup pintu pembelajaran, partai ini secara tak langsung membiarkan para kader stagnan dalam pola pikir usang, jauh dari semangat “memanusiakan rakyat” yang mereka gembar-gemborkan.
Lebih dari itu, sikap ini mencederai prinsip demokrasi internal partai. Sebagai kader, kepala daerah memiliki tanggung jawab ganda: sebagai abdi masyarakat dan bagian dari partai. Namun, ketika partai memutuskan mereka dari ruang diskusi strategis—seperti penguatan kapasitas hukum atau manajemen stabilitas keamanan—maka yang terjadi adalah pemiskinan nalar kolektif. Keputusan sepihak ketua partai ini mencerminkan mentalitas feodal, di mana loyalitas buta dianggap lebih penting daripada kompetensi. Padahal, dalam konteks otonomi daerah, kepala daerah harus mampu berdiri sebagai pemimpin mandiri yang berpijak pada data, bukan sekadar corong partai.
Larangan ini juga mengisyaratkan inkonsistensi moral. Bagaimana partai bisa dipercaya memperjuangkan kepentingan publik jika mereka menghalangi kadernya dari kesempatan memahami manajemen keuangan daerah yang transparan atau strategi politik yang berkeadilan? Rakyat membutuhkan pemimpin yang melek anggaran, piawai mencegah korupsi, dan mampu merespons konflik dengan pendekatan humanis. Retret adalah medium untuk itu. Dengan melarangnya, PDIP justru menunjukkan bahwa yang mereka rawat bukan kualitas kepemimpinan, melainkan hierarki kekuasaan.
Pada akhirnya, sikap ini adalah tamparan bagi cita-cita kerakyatan. Retret Magelang seharusnya menjadi momentum bagi kepala daerah untuk berefleksi: apakah kebijakan mereka selama ini sudah menyentuh kebutuhan terdalam rakyat, atau hanya menjadi proyek pencitraan? Dengan memagari kadernya dari ruang belajar, sang ketua partai telah memilih untuk menjaga status quo kekuasaan, alih-alih mendorong terobosan yang membumi. Jika memimpin adalah tentang keberpihakan, maka larangan ini membuktikan bahwa bagi sang ketua, loyalitas partai lebih utama daripada kesejahteraan rakyat. Negara ini tidak butuh pemimpin yang dikendalikan dari ruang dingin eksekutif partai, melainkan yang berani berpikir independen, belajar, dan bertindak untuk kemaslahatan publik. Retret Magelang mengingatkan kita: kepemimpinan sejati lahir dari kerendahan hati untuk terus memperbaiki diri, bukan dari arogansi yang memenjarakan nalar.
Opini oleh: Eta
No comment